By Abu Zein. Powered by Blogger.

20111119

Bid'ah..!! Apaan tuh..??

Dari Jabir bin ‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam suatu khuthbahnya (yang artinya): “Ammaa ba’d, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitaabullaah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” [HR. Muslim].
Seperti halnya hadits tholabul ilmi. Itu adalah hadits umum yang memerlukan dalil-dalil penjelasan khusus. Jika terpaku pada hadits itu saja, maka semua ilmu itu wajib ain untuk dituntut. Sanggupkah seorang manusia menuntut semua ilmu? Tidak sanggup. Apakah semua ilmu itu wajib ain dituntut? Tidak mungkin. Karena ada dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa ilmu sihir itu haram. Ilmu komputer itu tidak wajib. Ilmu nahwu sharaf itu tidak wajib ain, tetapi wajib kifayah. Ilmu hudud itu tidak wajib ain, tetapi wajib kifayah. Jika telah dipelajari oleh sebagian kaum di suatu daerah, maka gugurlah kewajiban itu bagi sebagian lainnya di daerah tersebut.
Begitu juga dengan hadits kullu bid’atin. Jika kita melihat pada zhahir hadits, maka kita melihat bahwa semua yang baru, tanpa terkecuali, adalah bid’ah. Semua perkara baru, baik itu urusan agama maupun urusan lainnya, tanpa terkecuali, adalah bid’ah.
Kemudian, hadits kullu bid’atin dibatasi oleh hadits “Barangsiapa yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. Yaitu kullu di sini bukanlah semua, mencakup urusan agama dan non-agama. Kullu di sini, menurut hadits tersebut bermakna semua urusan dalam agama. Jadi, semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah. Namun hadits tersebut juga diperjelas lagi dengan dalil-dalil lain.
Menurut Syaikh Izzuddin bin Abdis Salam dalam Qowaaid al Hakam, bid’ah adalah suatu pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah SAW. Lalu bagaimana hukum dari bid’ah ini? Bagaimana hukum dari pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah ini?
Menurut riwayat Abu Nu’im, Imam Syafi’i pernah berkata, ““Bid’ah itu dua macam, satu bid’ah terpuji dan yang lain bid’ah tercela. Bid’ah terpuji ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang sesuai dengan sunnah, sedangkan bid’ah yang tercela ialah (pekerjaan keagamaan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah) yang tidak sesuai dengan sunnah atau menentang sunnah.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Menurut riwayat Abu Nu’im pula, bahwa Imam Baihaqi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i pernah berkata, “Pekerjaan yang baru itu ada pekerjaan yang menentang atau berlainan dengan Al-Qur`an, sunnah, atsar dan ijma, ini dinamakan bid’ah dholalah; dan ada pula pekerjaan keagamaan yang baru yang baik, yang tidak menentang salah satu yg disebutkan di atas, adalah bid’ah juga, tetapi tidak tercela.” [Fathul Bari juz' 17 hlm. 10]
Menurut Imam Nawawi, Imam Syafi’i membagi bid’ah kepada dua macam itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan Imam Muslim : “Barang siapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah hasanah lalu diamalkan orang sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak mengurangkan sedikit juga dari pahala orang yg mengerjakan kemudian itu. Dan barangsiapa yang mengadakan dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah, lalu diamalkan orang sunnah sayyi’ah itu, diberikan dosa kepadanya seperti dosa orang yang mengerjakan kemudian dengan tidak dikurangi sedikitpun juga dari dosa orang yang mengerjakan kemudian itu.” [Syarah Nawawi juz' 14 hlm. 226]
Hadits ini tidak membicarakan sunnah nabi. Hadits ini membicarakan kebiasaan baru, suatu kebiasaan baru yang belum pernah ada di zaman Rasul. Nabi membagi kebiasaan (sunnah) itu menjadi dua, sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Supaya tidak rancu dengan sunnah yang biasanya digunakan untuk sunnah nabi, maka pembagiannya oleh Imam Syafi’i diistilahkan dengan Bid’ah Mahmudah dan Bid’ah Madzmumah. Kenapa dikatakan bid’ah? Karena sunnah/kebiasaan yang dimaksud adalah kebiasaan yang baru diadakan setelah Rasul wafat. Karena dia merupakan perkara baru, maka dikatakan bid’ah. Misalnya adzan dua kali sebelum zholat Jum’at yang dibiasakan oleh Sayyidina Utsman bin Affan. Penulisan dan pengkitaban hadits. Itu semua adalah perkara baru, namun tidak bertentangan dengan agama. Memang Nabi tidak mencontohkan adzan dua kali sebelum sholat Jum’at. Tetapi yang namanya adzan itu memang boleh kapan saja, tidak hanya menandakan waktu shalat.
Bahkan mengenai penulisan hadits adalah suatu perkara yang dilarang pada masa Nabi. Namun sekarang, kita dapat menyaksikan bahwa hadits-hadits itu ditulis dan dikitabkan. Namun ini adalah perkara baru yang baik. Apakah menulis hadits itu ibadah? Sungguh, menulis hadits itu dapat membantu menjaga agama ini. Menulis hadits itu membantu penyebaran ajaran agama ini. Penulisan hadits telah membantu orang yang sulit menghafal sehingga mereka juga dapat mempelajari hadits. Maka ia adalah ibadah. Penulisan hadits memang dilarang pada masa Nabi. Namun penulisan hadits di zaman setelah beliau dan para shahabat wafat merupakan hal yang diridhoi Allah karena membantu menjaga agama ini.
Fahamilah pemikiran Imam Syafi’i dalam hal ini. Beliau telah membagi bid’ah atau sunnah baru itu kepada bid’ah mahmudah dan bid’ah madzmumah. Sedangkan Nabi telah membaginya menjadi sunnah hasanah dan sunnah sayyi’ah. Dan ulama terkemudian menyebutnya bid’ah hasanah dan bid’ah dholalah. Karena sunnah sayyi’ah itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh Nabi dalam sabdanya, “Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitaabullaah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (saw) dan sejelek-jelek perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat.” Jadi, sunnah yang jelek (sayyi’ah) adalah bid’ah dholalah.

Tanya : Bagaimana dengan Tahlilan..? 
Pada zaman Nabi banyak yang meninggal dunia diantara para sahabat, tapi tak ada satupun riwayat yang shohih bahkan dhoif sekalipun, yang menceritakan bahwa Nabi melakukan hal tersebut, jadi meninggalkan kegiatan tersebut berarti mengikuti apa – apa yang Nabi lakukan. Bagaimana menurut anda..??

Jawab : Sunnah tarkiyyah tidak selalu menghasilkan hukum haram. Nabi pernah meninggalkan shalat tarawih berjama’ah. Tetapi shalat tarawih berjama’ah tidaklah haram. Bahkan Sayyidina Umar mengatakan itu adalah bid’ah yg bagus. Apa yg Nabi tinggalkan bukan berarti terlarang bagi ummatnya. Ini harus Anda pahami dahulu.
Nah, kalo utk hal yg jelas2 Nabi pernah melakukannya lalu Nabi meninggalkannya saja tidak serta merta menghasilkan hukum haram, apalagi utk hal yg Nabi belum pernah melakukannya. Jika Nabi belum pernah melakukannya, lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa beliau meninggalkannya?
Jika Anda melihat seseorang mengirim pahala bagi mayyit, lalu Anda tidak mau ikut dalam perbuatan itu, maka Anda dapat dikatakan meninggalkannya. Atau Anda pernah melakukan suatu perbuatan, lalu Anda berhenti melakukan perbuatan itu, maka Anda dapat dikatakan meninggalkannya.
Tetapi jika Anda tidak melihat seseorang mengirim pahala bagi mayyit, dan Anda juga tidak pernah mengirim pahala bagi mayyit, bagaimana Anda bisa dikatakan sebagai orang yg meninggalkan perbuatan itu?
Dan seperti saya katakan sebelumnya, ketika Nabi meninggalkan suatu perbuatan, bukan berarti perbuatan itu terlarang.

Tanya : Bagaimana dengan melafazhkan niat?
Karena kita sepakat bahwa shalat hanyalah dimulai dari takbiratul ihram di akhiri salam, apalagi bacaan nawaitu atau usholli tidak ada sama sekali diriwayatkan oleh kaum salaf termasuk imam “Penolong Sunnah” Asy-syafi’i bin Idris rahimahullooh, kalo sudah kita sepakati bagian dari shalat hanyalah takbiratul ihram sampai salam, mengapa harus menambahkan melafazhkan usholli sebelumnya walau kita yakini itu bukan bagian dari sholat?

Jawab : Kami tidak menambahi syari’at. Sholat kami awali dengan takbiratul ihram dan kami akhiri dengan salam. Itulah shalat kami. Ada pun melafazhkan niat sebelumnya, berdzikir dan berdo’a setelahnya bukanlah bagian dari shalat. Bolehkah melafazhkan niat? Boleh, tidak ada larangan utk melafazhkan niat sebelum shalat. Apakah berpahala? Apa2 yg membantu ibadah, maka ia berpahala. Apakah ini menambahi syari’ah? Tidak. Syari’ah kita mengajarkan kita untuk berbuat ihsan, untuk berbuat ma’ruf, dan melarang kita berbuat keji. Apakah melafazhkan niat itu bermanfaat? Dijelaskan pada Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafazh niat bukan wajib, ia hanyalah untuk membantu saja. Berkata shohibul Mughniy: Lafzh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafazh dari apa–apa yang diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278)

Tanya : Bagaimana dengan Dzikir Berjamaah..? 
Walaupun dzikir yang dibaca berupa ayat2 al-qur’an, dzikir2 utama, yang dilarang adalah acaranya, bukan dzikirnya, karena syarat ibadah seperti dijelaskan oleh para ulama haruslah memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
1. kaifiyatnya harus sama sesuai contoh, misal seluruh gerakan shalat harus seperti yang diajarkan Nabi,
2. Kadar / bilangannya harus sesuai contoh, misal raka’at shalatnya harus sama dengan perbuatan Nabi, misal shalat wajib : subuh 2, dhuhur 4, ashar 4, dstrnya…
3. Tempatnya harus seperti petunjuk Nabi, contoh jika ibadahnya i’tikaf, berarti harus dilakukan di masjid bukan dikuburan atau tempat keramat,
4. Jenisnya harus sesuai dengan petunjuk Nabi, jika berqurban yang telah dicontohkan dengan unta, sapi dan kambing / domba, maka saat berqurban harus dengan jenis seperti itu, tidak bisa dikatakan qurban jika menyembelih burung, atau hewan selainnya,
5. Waktunya, harus sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi, seperti yang dinamakan zakat fithri, dibayarkan saat menjelang idul fithri, tidak dapat dikatakan zakat fithri jika dibayarkan pada bulan sya’ban…

Jawab : Apakah dzikir itu termasuk ibadah yg dibatasi tempat dan waktunya? Apakah membaca Al-Qur`an itu termasuk ibadah yg dibatasi tempat dan waktunya?
Ya, berdzikir dan membaca Al-Qur`an itu tidak dibatasi tempat dan waktunya. Melafazhkan kalimah thayyibah, kalimah2 dzikir membaca Al-Qur`an itu boleh di mana saja, kecuali di tempat buang kotoran. Membaca Al-Qur`an itu boleh kapan saja, kecuali jika berhadats besar. Melarang pembacaan kalimah thayyibah dan Al-Qur`an secara berjamaah tidak mempunyai dalil sama sekali. Melarang apa2 yg dibolehkan syari’at itu berarti mengubah syari’at. 
Nah loh…. Siapa sekarang yg mengubah syari’at?

0 komentar:

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP