By Abu Zein. Powered by Blogger.

20111117

Ini Milik Zein...!!

Zein menangis sedih. Tangisannya bukan tangisan marah yang biasanya dibarengi dengan teriakan atau lengkingan. Tangisannya kali ini adalah tangisan lirih yang dikolaborasikannya dengan isakan. Sungguh menyayat hati. Saya kemudian memeluknya dengan rasa kasih sayang. Saya juga sedih. Justeru kesedihannya saya itulah yang membuat Zein bersedih. Kesedihan ayah dan anak menyatu.

Apa pasal..?


Mula kejadian, siang itu (12/09/2011) saya menjemput Zein ke TK Bertaraf Internasional, tempat Zein belajar dan bermain setiap hari antara jam 08.00 – 11.00, kecuali hari libur. Jarak antara rumah kami dengan lokasi raudhatul athfal tersebut tidak jauh, dalam beberapa menit kami sudah tiba di rumah. Karena keluarga kami belum memiliki orang yang membantu untuk mengantar jemput Zein sekolah, maka biasanya antar jemput bergantian antara saya dan adik ipar yang kebetulan hari itu lagi masuk kuliah, sementara bundanya Zein yang sedang melaksanakan tugasnya sebagai seorang english teacher di salah satu sekolah dasar tidak mungkin meninggalkan kewajibannya. Jadilah saya sebagai penjemput Zein.

Sesampainya di rumah, setelah berganti pakaian Zein keluar bermain bersama seorang temannya. Tidak berapa lama terdengar suara gaduh.

“Ini milik Zein”

“Ini milik ....”

Suara mereka terdengar keras, saya keluar rumah menjenguk. Rupanya dua anak kecil itu sedang memperebutkan sesuatu. Sesuatu yang bagi orang dewasa menggelikan. Yah, menggelikan karena yang mereka perebutkan bukanlah barang atau mainan bernilai rupiah. Mereka sedang memperebutkan sebatang ranting. Ranting tidak lebih dari sekedar sampah, itulah mungkin nilai ranting dihadapan kita. Tapi bagi anak-anak itu? Ranting bagi mereka adalah mainan. Ranting sangat berharga karena tidak ada dijual di toko mainan. Zein mempertahankan dengan tangan kirinya, temannya menarik dengan kedua belah tangan.

Suara saya menegur Zein tidak dihiraukannya, matanya menatap tajam teman mainnya sambil terus menggenggam kuat, mempertahankan ranting yang dianggapnya miliknya. Lawannya tidak mau kalah, dengan sekuat tenaga mempergunakan kedua belah tangannya menarik kuat sambil berteriak dan mulai menangis. Kekuatan tidak seimbang, badan Zein lebih tinggi dan besar dibanding lawannya meski umur mereka hanya terpaut beberapa bulan. Tenaga Zein lebih kuat,walaupun dia hanya menggunakan tangan kiri, sambil tangan kanannya memegang kotak susu UHT kesukaannya, ranting masih bisa dipertahankan. Merasa tidak berhasil merebut, anak kecil tersebut menangis. Zein berhasil memenangkan rebutan disaksikan oleh saya dan ibu teman mainnya.

Anak kecil yang kalah rebutan itu semakin keras, untuk kemudian mendapat bonus dimarahi ibunya. Sementara Zein hanya mengeluarkan kata, “Ini milik Zein..!”, sebagai jawaban dari usulan saya agar menyerahkan ranting itu diserahkan kepada temannya.

Kenapa saya tidak melerai mereka? Itu mungkin pertanyaan anda. Pada posisi ini, saya belum bisa memastikan ranting yang mereka perebutkan itu milik siapa. Apakah itu milik Zein yang direbut temannya, atau milik temannya yang direbut Zein. Keduanya sama-sama mengakui “ini milik saya”. Kalau saya memaksa Zein agar menyerahkan ranting itu kepada lawan rebutannya, padahal senyatanya ranting itu milik Zein, tindakan saya jelas tidak adil. Itulah yang membuat saya untuk sementara menahan diri. Sebelum mengetahui dengan pasti siapa pemilik yang sebenarnya.

Oleh saya, Zein dibawa masuk rumah, untuk kemudian diinterogasi, siapa yang salah dalam hal ini. Zein tetap menjawab kalau ranting ditangannya itu hak miliknya, menyahut pertanyaan yang berulang-ulang saya ajukan. Sementara itu, suara tangis temannya diseberang rumah begitu keras hingga terdengar ke rrumah kami.

“Zein, apa Zein tidak kasihan sama ...., kasihkan saja ranting padanya”, usul saya.

“Ini milik Zein”.

“Iya, walau milik Zein, tapi kan kasihan si ....”.

“Ini milik Zein”, tetap bersikeras.

Selama ini Zein memang saya didik agar mempertahankan hak milik dengan segenap kemampuan, sebaliknya bila hak orang lain jangan sekali-kali mengambil apalagi merebut secara zalim. Sementara itu, suara tangis temannya semakin terdengar melengking, ditingkahi marah ibunya. Tidak menggubris suara ibunya yang mengatakan, “kaena kita cari pulang” (Nanti kita cari lagi).

Saya masih berusaha negosiasi dengan Zein agar dia berbaik hati dan mengalah, namun hasilnya nihil. Kemudian Zein saya interogasi, minta ceritakan kronologis kejadian. Darimana asal mula ranting dan siapa yang pertama kali menemukan. Saya menganggap mengetahui hak milik siapa sebenarnya ranting yang mereka perebutkan lebih penting ketimbang memarahi atau mengiming-imingi ganti yang lebih baik. Mengetahui hak milik demi untuk memutuskan siapa yang salah dan siapa yang benar, untuk selanjutnya membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Itulah keadilan menurut saya.

Akhirnya Zein bercerita kalau ranting itu ditemukan di depan rumah tetangga sebelah saya.

“Siapa yang menemukan?”, saya bertanya.

“Siapa yang mula-mula mengambil ranting itu?”, tanya saya lagi. Zein menyebut nama temannya. Deg... Zein berada dipihak yang salah, batin saya. Ranting itu terlebih dahulu diambil oleh teman Zein dari tempat terdamparnya. Artinya sebenarnya itu milik teman Zein.

“Berarti itu milik ...”, kata saya sembari menyebut nama teman mainnya.

“Ini milik Zein”, dia masih bersikeras.

“Bukan, ini milik teman Zein. Zein salah. Zein telah merampas punya orang”, tegas saya.

“Zein harus kembalikan ranting ini kepada pemiliknya”

“Ini milik Zein”, masih mempertahankan.

“Zein, ayah sedih kalau Zein merampas punya orang. Ayah sedih Zein telah jadi maling”, kata saya pelan. Inilah yang membuat Zein menangis. Zein merasa tidak ada yang membelanya, merasa disalahkan padahal dia berada pada posisi yang benar menurutnya.

“Ranting ini ada di depan rumah ibu sebelah, itu kan rumah Zein juga”, ini rupanya yang membuat Zein beranggapan ranting itu miliknya. Rumah kami berbentuk kopel, dinding menyatu dengan sebelah rumah, bagi Zein ini seperti satu rumah, jadi apa yang ada di depan rumah sebelah seperti apa yang ada di depan rumah kami, milik kami. Zein masih menangis.

“Bukan, ini bukan milik Zein. Rumah ibu itu bukan rumah Zein. Apa yang ada di depan rumah ibu bukan milik Zein. Zein harus kembalikan ranting ini”, desak saya.

Zein sedih dan saya pun sedih. Zein sedih karena dia tidak dibela. Saya sedih karena anak saya telah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Kami berpelukan. Zein merasa benar telah mempertahankan haknya, ternyata hak versi dia berbeda dengan hak versi saya.

“Ayah tidak mau Zein menjadi maling”. Tangisan Zein tambah menyayat hati.

Saya berfikir keras bagaimana caranya menghadapi anak kecil ini. Dia belum mengerti apa-apa tentang kehidupan. Belum mengerti bagaimana membedakan hak dari cara mendapatkannya.

Akhirnya, saya ambil inisiatif mengajak Zein main. Saya mengambil kamera saku digital dan saya ajak Zein menjepret saya berpose. Zein memang suka bermain kamera, suka membidik apa saja. Walau hasilnya tidak jelas, baginya itu adalah hiburan dan kebanggan, sudah bisa berbuat seperti orang dewasa.

Keasyikan main, Zein lupa dengan ranting.

“Zein”, kata saya ditengah asyiknya Zein membidik. “Kembalikan ranting tadi sama ...., sekalian minta maaf, baru nanti kita main lagi”. Alhamdulillah, dengan sigap Zein keluar rumah membawa ranting.

“..... sudah masuk rumah”, Zein kembali.

“Taruh diterasnya, nanti kalau dia keluar Zein bilang minta maaf”.

Zein mengangguk dan kembali ke rumah temannya yang berada diseberang rumah kami, tepatnya berhadapan dengan rumah sebelah. Zein kembali sembari mengatakan kalau sudah ditaruh di teras rumah temannya. Tanpa beban, tanpa kehilangan. Kami kembali bermain.

***

Yah, pengenalan hak milik sejak dini memang penting. Mana hak milik kita dan yang mana hak milik orang lain. Bila memang hak kita, mempertahankannya dari kezaliman orang lain adalah ibadah. Sebaliknya bila hak orang lain, mengambilnya secara zalim adalah kemaksiatan. Berdiam diri saat hak diinjak-injak karena tidak berani melawan, itu sebuah kepengecutan. Mengambil hak orang lain secara zalim saat ada kesempatan juga sebuah kepengecutan. Kita harus menjadi makhluk yang berani. Berani mempertahankan hak sendiri dan berani mengembalikan hak orang lain. Bila keberanian mempertahankan hak sendiri berarti harus berhadapan dengan orang zalim, berani mengembalikan hak orang lain artinya siap melawan hawa nafsu yang selalu menyuruh zalim.

So, jangan biarkan generasi penerus bangsa ini tidak kenal dengan haknya dan hak orang lain. Jangan relakan mereka lemah dalam mempertahankan hak miliknya, juga jangan biarkan mereka berani mengambil hak orang lain. Dengan pengenalan sejak dini, insya Allah, kasus penzaliman atas hak-hak orang lain seperti korupsi, pencurian dan sejenisnya bisa kita redakan. Anda setuju?

0 komentar:

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP