By Abu Zein. Powered by Blogger.

20111121

Cinta Buat Ummy Fawwaz

Ya Allah, bila memang dia baik untukku saat ini dan masa depanku, dunia dan akhiratku, dan akupun baik bagi dunia dan akhiratnya, maka jodohkanlah kami dan mudahkanlah urusannya. Jika memang ada yang lebih baik dan pantas untukku, demikian pula bagi dia, maka jauhkanlah kami, pisahkanlah kami dalam kebaikan, sebagaimana Engkau memperkenalkan kami dalam kebaikan. Engkau Maha Tahu ya Rabb.. Lirih suara Ummy, mengiringi tetesan air matanya. 
Malam mulai beranjak pergi, tugasnya menyelimuti bumi tidak lama lagi, dan fajar sudah bersiap untuk terbit, sebagai salam pembuka bagi kehadiran matahari, dingin begitu menusuk, membuai mata yang lelah seharian semakin terkantup rapat, terbuai ke alam mimpi. Namun tidak semua mata ditengah gulita malam larut dalam buaian itu. Ada beberapa mata yang meneteskan airnya ditingkahi suara pemiliknya yang sedang bermunajat kepada sang Khalik. Sementara banyak manusia keasyikan di alam luar sadarnya, orang-orang pilihan tersebut malah berada dalam kesadaran tingkat tinggi. Mereka menyadari sepenuhnya dengan kelemahan dan ketidakberdayaannya, untuk itulah mereka senantiasa memohon pertolongan kepada sang pemilik segalanya, yang menciptakan dan menguasai kerajaan semesta. Termasuk diantara mereka Ummy Fawwaz, sudah lima tahun terakhir ini, selain di waktu-waktu tertentu, Ia tidak pernah absen dengan ibadah malam tersebut.

Malam itu, selesai mengerjakan Tahajjud dan Witir, fikiran Ummy melayang menembus ruang waktu, terbayang jelas saat ia pertama kali menerima e-mail dari lelaki yang mengaku bernama Nabil, satu bulan silam. Katanya ia tertarik dengan Ummy setelah membaca opini Ummy yang dimuat di sebuah harian. Mulanya Ummy tidak begitu menanggapi dengan ajakan ta’arruf dari lelaki yang tidak pernah ia lihat tampangnya tersebut. Ummy yang tak pernah mau bergaul dengan lawan jenis selain dalam rangka menuntut ilmu dan aktivitas sosial, Ummy yang selalu menjaga kehormatan diri sebagai seorang muslimah, mana mau berakrab ria dengan seorang lelaki yang bukan muhrimnya. Namun Nabil seperti tak pernah putus asa, kendati mendapat tanggapan dingin dari Ummy. Nabil bahkan telah mengungkapkan segala tentang dirinya, tentang masa mudanya yang tak pernah diwarnai pacaran karena asyik berjibaku di dunia ilmu, tentang cita-citanya menjadi seorang dokter spesialis jantung yang telah tercapai, tentang niatnya untuk segera menikah, menyempurnakan setengah dien, kendati belum menemukan calon pasangannya.

Tiba-tiba terdengar nada SMS, menyadarkan Ummy dari lamunannya. Ia sudah hafal SMS dari siapa itu, siapa lagi kalau bukan Nabil, yang akhir-akhir ini rutin mengirim SMS tiap jam 03 malam, membangunkannya untuk Tahajjud, dan ketika tiba waktu Shubuh.

“Allahu Akbar.. Allahu Akbar”, belum lagi Ummy menutup kembali menu kotak masuk di Hp-nya terdengar suara adzan dari mesjid, mengajak manusia yang mengimani Penciptanya untuk segera bersujud, mendekatkan diri pada-Nya.



***



Ummy merapikan pakaiannya, setelah selesai berkemas memasukkan baju dan peralatan lainnya kedalam travel bag biru miliknya. Rencananya hari ini ia akan berangkat ke Banjarmasin untuk menghadiri reuni LDK Fakultas Ekonomi, tempat dimana pertama kalinya ia mengenal dunia dakwah dan akhirnya terlibat aktif didalamnya.

“Berapa hari rencana kamu disana?”, suara bunda terdengar dari luar kamar.

“Paling juga Senin sudah pulang”, jawab Ummy. Ia tidak ingin berlama-lama di Banjarmasin, tidak enak sama ‘Ammy Fahmi, rumahnya yang tidak terlalu besar akan bertambah sesak dengan kehadirannya, apalagi ia akan menginap bersama Hanim, sahabatnya yang juga keponakan ‘Ammy Fahmi,. ‘Ammy Fahmi bukanlah ‘Ammy-nya langsung, isterinya sepupu bunda, jadi hubungan keluarga antara dia dengan anak-anak ‘Ammy Fahmi sudah agak jauh, kendati hubungan silaturrahmi antar mereka begitu akrab. Berbeda dengan Hanim yang ayahnya saudara kandung ‘Ammy Fahmi.

Terdengar alunan Enta Eih Nancy Ajram dari HP miliknya, pertanda kalau ada SMS baru yang diterima.

“Salam. Kapan jadi berangkat?”, Pertanyaan singkat itu dikirim oleh Nabil.

“Sebentar lagi. Baru selesai packaging”, balas Ummy, tak ingin ia berpanjang kata menjawabnya, jawaban sekedar pertanyaan prinsipnya, lagipula ia harus buru-buru, janji dengan Hanim jam 10.00 ini sudah harus siap berangkat, jadi tinggal 15 menit lagi.

Ummy menatap wajahnya di cermin, mungkinkan Nabil adalah jodohnya, pertanyaan itu yang beberapa hari ini menghantui batinnya. Di usianya yang ke 27 ini belum satu laki-laki pun yang mampu memasuki ruang hatinya. Sudah beberapa laki-laki yang ingin melamarnya, namun ia belum berani menerimanya, ia merasa ragu dengan mereka meski sudah istikharah beberapa kali namun tak kunjung menemukan kata pasti. Ah, mungkin Allah punya rencana lain, bisik hatinya.

Semenjak laki-laki yang mengaku dokter itu mengatakan dalam SMSnya kalau ia lagi mencari isteri, ada rasa yang tumbuh di hati Ummy, rasa ingin mengatakan kalau ia siap menjadi isteri Nabil. Aneh memang, Nabil yang belum pernah ia lihat tampangnya, Nabil yang belum dikenal sifat-sifatnya, Nabil yang hadir seperti dalam mimpi, namun serasa sudah begitu akrab dengan jiwanya. Apa karena Nabil seorang dokter dan memang semenjak dahulu ia mendambakan punya suami seorang dokter karena cita-citanya untuk menjadi dokter tidak kesampaian, atau karena Nabil juga keturunan Arab seperti dia, sesuai dengan keinginan bunda yang selektif soal ras, ataukah karena ia memang sudah kebelet kawin? Entah, yang jelas bukan yang terakhir itu alasannya.

“Assalamu ‘Alaikum!”, terdengar salam dari luar, menyadarkan Ummy dari lamunan. Kamarnya yang berada dekat ruang tamu jelas menangkap kalau itu suara Hanim.

“Wa ‘Alaikum Salam”, terdengar suara bunda. “Eh, Hanim. Masuk nak, Ummy lagi di dalam kamar, mungkin lagi siap-siap”

“My.. Ummy, nih Hanim sudah datang nak”, panggil bunda sambil mengetuk pintu kamarnya. Ummy segera beranjak, membawa keluar travel bag dan tas tangannya.



***



Ummy melirik arloji mungil yang menempel di pergelangan tangan, sudah hampir pukul 17. 00, janjinya sore ini Nabil akan datang menemuinya, bertatap muka sebelum memastikan untuk melakukan khitbah sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Kebetulan saat ini Ummy berada di Banjarmasin, hingga Nabil tidak perlu menempuh jarak ratusan kilometer untuk menemuinya di Barabai, dimana ia tinggal bersama dengan orangtuanya

Menunggu memang pekerjaan yang membosankan, apalagi untuk bertemu dengan seseorang yang selama ini menghantui pikiran, kendati ia belum pernah tahu bentuk fisiknya. Ada rasa gugup menyelinap masuk. Berbagai rasa lainnya ikut berbaur memenuhi ruang kalbu. Entah apa nanti yang akan mereka bicarakan, Ummy masih belum bisa meraba, yang jelas ia harus membantu Nabil mengamalkan sunnah, melihat langsung wajahnya sebelum memastikan langkah selanjutnya.

Tak ingin larut dalam khayalan yang tak ada manfaatnya, Ummy membuka-buka buku catatan, dimana ia mencatat intisari dari setiap ceramah, diskusi atau majlis ta’lim yang dihadirinya. Ia ingin merefresh memori otaknya yang merekam ceramah ustadzah Nisa pagi tadi.

Ustadzah Nisa mentornya dahulu sewaktu ia masih kuliah dan aktif di LDK pagi tadi membicarakan soal ujian dan tantangan dakwah. Tak mudah untuk menempuh jalan dakwah, harus siap mental dan segalanya, karena itulah dakwah termasuk bagian dari jihad, seakar dengan kata mujahadah yang berarti kesungguhan. Memang setiap mukmin mesti siap menerima ujian dan cobaan dalam hidupnya, untuk mengukur sejauh mana tingkat keimanannya, semakin dekat seseorang dengan Tuhan semakin berat pula ujian yang Dia berikan. Ujian dan cobaan adalah tanda cinta dan perhatian Tuhan kepada hamba-Nya, demikian kesimpulan dari ceramah Ustadzah Nisa yang ia catat.

Terdengar suara mobil berhenti diluar pagar, membuatnya beranjak dari tempat duduk, menengadahkan pandangan, meyakinkan siapa yang datang. Tak lama berselang terdengar suara bel, Ummy bergegas berjalan kearah pagar membukakan pintunya. Sejenak ia terperangah melihat sosok tinggi jangkung yang berdiri dihadapannya, wajah yang begitu tampan, kulit putih bersih bercampur sedikit kemerahan, hidung mancung yang mencuat ditambah alis tebal menghitam yang menghiasi raut mukanya seakan berkata, aku sama seperti kamu, juga keturunan Arab.

“Assalamu ‘Alaikum”, halus dan sopan seolah menandakan kalau pemiliknya orang yang berakhlak.

‘Wa ‘Alaikum Salam. Maaf, cari siapa ya?” Ummy masih belum yakin kalau ini yang bernama Nabil.

“Apa ini rumah Bapak Fahmi Ba Fadel?”.

“Iya benar, cari siapa ya”? Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan.

“Saya mau ketemu dengan Ummy Fawwaz. Tadi janji ketemu dirumah ini”, Deg, jantung Ummy berdetak lebih keras. Dengan sisa kekuatan yang dimilikinya ia mencoba mengeluarkan jawaban,

“Saya Ummy Fawwaz!”

“Ahlan wa sahlan, saya Nabil”, Ummy tersenyum dalam hati, mestinya ia yang mengucapkan kalimat selamat datang tersebut. Tak ada acara bersalaman diantara mereka, yang ada hanya kalimat mempersilahkan masuk dari mulut Ummy.

Meski di SMS sudah terasa akrab, berhadapan langsung begini tak urung membuat Ummy gugup juga, tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Apalagi diantara mereka belum pernah bertemu sebelumnya, ditambah lagi rasa yang selama ini ikut menghiasi batinnya.

Untung saja Hanim yang ikut nimbrung diantara mereka, sebagai orang ketiga agar tidak terjadi khalwat yang dilarang agama, memulai pembicaraan, mencairkan suasana. Hingga akhirnya semuanya mengalir lancar, terkadang dibumbui dengan canda Nabil. Pandai bercanda juga ni orang, gumam hati Ummy.



***



Satu minggu sudah Ummy menanti kabar dari Nabil, kepastian tentang khitbahnya, jadi atau batal. Semenjak pertemuan kemaren hanya satu kali SMS dari Nabil ia terima, itupun cuma menanyakan apa sudah sampai dengan selamat di Barabai. Padahal, Ummy begitu kangen dengan sosok itu, sosok yang meski baru pertama kali berjumpa namun sudah memberikan kesan yang luar biasa. Apa benar luar biasa? Mungkin benar mungkin tidak. Yang jelas, hatinya yang beku selama ini telah mencair, pintunya yang dulu tak terjamah kini malah mulai terbuka, dan ia siap untuk itu. Ia siap untuk menjadi seorang isteri yang shalihah bagi Nabil, Ia siap menjadi seorang ibu bagi anak-anak Nabil, yah, ia telah mempersiapkan diri untuk semua itu.

Tapi, benarkah Nabil jodohnya? Benarkah Nabil laki-laki yang akan menjadi ayah bagi anak-anaknya kelak? Ada pertarungan dibatinnya. Disatu sisi, rasa untuk Nabil tumbuh dengan subur, dan ia tidak bisa membendungnya. Rasa yang kini mulai menciptakan mimpi dan khayal. Sementara disisi lain, Nabil bukan apa-apa bagi dia, Nabil tidak pernah mengatakan kata pasti untuk melamarnya. Melewati hari-hari tanpa kepastian tentu sebuah dilema yang tak mengenakkan. Ya Tuhan, bantu hamba-Mu ini melewati semuanya, kuatkan kaki ini menempuh jalannya. Engkau Maha Tahu segalanya ya Rabb, tahu apa yang terbaik bagi hamba.

Selambatnya satu minggu sudah ada kepastian, demikian janji Nabil kepadanya waktu itu. Nabil mengatakan terus terang bahwa ia belum minta izin dan restu dari ibunya, dan selama inipun ia tidak pernah membicarakan soal jodoh dengan ibunya. Nabil bercerita banyak, tentang kepergian ayahnya yang untuk selamanya saat ia masih berusia 10 tahun, tentang biaya kuliah yang ditanggung ‘Ammynya, seorang pengusaha batik di pulau Jawa, hingga akhirnya ia berhasil menjadi dokter, yang kemudian diperjalanan karirnya mendapat anugerah beasiswa untuk mengambil spesialis jantung.

Sore itu, sehabis sholat Ashar, seperti biasa Ummy asyik dengan koleksi bunga miliknya. Menyiram dan membersihkan daun-daun yang mati membuatnya merasa tenang dan damai. Saat asyik memandang kamboja Jepang yang tumbuh dalam pot hitam favoritnya, terdengar suara nasyid dari dalam rumah. “Ah, ada yang menelpon”, membuatnya bergegas masuk, mengambil HP miliknya. Ternyata Nabil, yang mengatakan kalau keputusannya ia kirim via e-mail, membuat Ummy semakin penasaran.

Selesai menerima telpon Nabil, lansung saja Ummy mengambil laptop dan menghidupkannya, kemudian menghubungkan USB Handphone. Ah biarlah untuk kali ini, fikirnya. Jarang sekali ia browsing atau sekedar cek mail sekalipun menggunakan jalur GSM, biasanya ia pergi ke warnet, yang bila dikalkulasi biayanya jauh lebih murah, selisihnya lumayan bisa untuk menyumbang kaum dhu’afa, prinsipnya.

Assalamu ‘Alaikum, deg-degan hati Ummy membaca e-mail dari Nabil.

Semoga selalu berada dalam naungan rahmat-Nya, amin.

To the point

Setelah pertemuan kita kemaren, malamnya aku berbicara dengan bunda, tentang niatku yang ingin menikah tahun ini. Bunda begitu terkejut sekaligus gembira dengan niatku yang ingin melaksakan sunnah tersebut. Selama ini beliau menantikan kapan aku memikirkan soal jodoh, untuk memulai membicarakan beliau tidak mau, takut mengganggu konsentrasiku.

Bunda kemudian bercerita banyak soal keluarga, tentang ayah yang meninggalkan kami tanpa menyisakan warisan yang berarti, tentang ‘ammy yang banyak membantu perekonomian kami, memberikan modal cuma-suma kepada bunda untuk berdagang kain kecil-kecilan, hingga membantu kuliahku di Kedokteran.

Aku hanya diam mendengar cerita bunda, sampai saat beliau mengatakan kalau antara ayah dan ‘ammy pernah mengikat perjanjian untuk menikahkan aku dengan Shakira, sepupuku, putri tunggal ‘ammy.

Maafkan aku Ummy, semoga Allah menguatkan hatimu.

Aku telah berusaha memberikan penjelasan kepada bunda, juga memberikan argumentasi sesuai tinjauan ilmu kedokteran kalau kawin sedarah bisa melahirkan generasi yang mengalami kelainan bawaan (congenital) seperti cacat fisik, juga kemandulan (infertilitas) bagi laki-laki, sebagaimana hasil penelitian dosenkus dalam disertasinya. Namun bunda memberikan argumentasi yang lebih kuat lagi, yang tidak bisa dibantah oleh orang yang beriman. Bunda mengatakan bukankah Sayyidina Ali dan Fathimah itu masih kerabat? Bukankah Abu Thalib adalah saudara kandung Abdullah? Berarti mereka masih sedarah. Kalau memang kawin sedarah bisa berakibat seperti yang kau katakan, mana mungkin Rasulullah SAW menikahkan mereka. Kau bisa lihat sendiri generasi yang terlahir dari mereka, mulai dari Sayyidina Hasan dan Husein hingga ayahmu dan kamu Nabil.

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, aku takut bunda marah kepadaku, aku tak mau menyakiti hati bunda, aku teramat sayang bunda, aku takut Allah marah padaku, aku takut Rasulullah marah padaku.

Ummy, semoga Allah melindungimu, sebagai kata terakhir, rangkaian puisi dibawah ini semoga bisa menjadi salam terakhir untuk kisah kita, kisah yang akan mengabadi di hati kita, semoga.



Ummy

Kita telah meraba-raba takdir, dalam gelap yang tak berujung

Rintihan munajat dipenghujung malam

Seperti sebuah lentera kecil, dengan secuil api pengharapan

Yang selalu bergoyang, dipermainkan tiupan bayu



Kita mencoba menjamah wangi

Yang ternyata terlalu suci untuk dinikmati

Oleh kita, kau dan aku

Padahal, kita sudah mencuci tangan, kaki bahkan sekujur jasad

Digenangan air mata kita

Dan sudah kita keringkan basah yang tersisa

Dengan hangatnya hembusan nafas dzikir

Dipenghujung malam



Sayang sekali

RencanaNya adalah rencanaNya

Rencana kita hanyalah rencana kita

Bahkan tangan sang dewi cinta pun

Tak akan pernah mampu menyatukan kita



Jangan menangis Ummy

Air mata kita terlalu mahal bila hanya untuk ini

Bukankah kita telah terbiasa terhempas?

Dan kita meratap hanya pada saat kerinduan padaNya memuncak

Pula manakala pengakuan dosa kita haturkan

Sekali lagi tak perlu ada tetesan air bening itu di wajah kita

Bila hanya untuk ini



Mungkin tak pernah ada lagi malam-malam kerinduan

Dimana jiwa kita bergandengan mengurai doá dan pengharapan

Disaat banyak mata larut terpejam

Walau jasad kita disekat ruang

Mungkin..



Tapi ini adalah sebuah keindahan tersendiri Ummy

Tak pantas bila kita tenggelam dalam lara

Bukankah kita sudah persiapkan diri untuk menerima takdirnya?

Meski kita gagal mencicipi sajian yang kita pesan



Besok, embun pasti akan menetes lagi

Menyejukkan nurani kita

Dan hangatnya sinar matahari akan berikan energi lagi

Untuk kita



Kita harus yakin

Kita mesti percaya

Bahwa kedamaian yang sesungguhnya adalah manakala kita bisa tersenyum puas

Menerima lecutan cambukNya



Ummy

Karena satu-satunya yang berhasil meniupkan niat suci itu hanyalah Ummy

Meski ternyata harus terjungkal dan gagal menggapainya

Malam ini, aku selipkan sehelai do’a diantara sayap malaikat

“Semoga Ummy mendapatkan yang lebih baik”

Karena Ummy pantas untuk itu



Bila ternyata bangunan kasih yang kita coba dirikan

Tidaklah lebih kuat dari sarang laba-laba

Yang terpaksa robek dicakar kenyataan

Dan tereliminasi diseleksi alam

Tak baik bila kita menyalahkan siapapun



Sudah saatnya kita berbenah menyongsong esok

Meskipun untuk bergandengan tangan jasad kita tidak pernah diizinkan

Setidaknya jiwa dan hati kita bisa beriringan



Ummy

Disini ada nilai

Disini ada hikmah

Kita, kau dan aku

Kelak akan memahaminya

Disaat kita sama tenggelam

Merenangi samuderaNya



Salam selalu

Nabil Ba Aqil


Ummy menghela nafas, tak terasa air matanya meleleh, air bening itu mengalir menghangatkan kedua pipinya, ada rasa sesak menghimpit rongga dadanya, ada yang hilang melayang dari hatinya, sebuah harapan yang sempat membawanya bermimpi. Saat tubuhnya terasa lunglai, ingatannya melayang dengan yang disampaikan Ustadzah Nisa, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Allah akan memberinya suatu cobaan, bila ia ridho dengan cobaan tersebut maka Allah pun ridho kepadanya, sebaliknya jika hatinya marah menerima cobaan itu, Allah juga marah kepadanya”. Ya Rabb, terimakasih atas tanda cinta-Mu, bantu hamba untuk bisa ridho dengan keputusanMu, meski saat ini hati hamba begitu perih. Rintihnya sambil menahan himpitan rasa yang sebelumnya tak pernah dialaminya.

Sementara itu, ratusan kilometer dari rumah Ummy Fawwaz, diparkiran sebuah rumah sakit, Nabil lagi serius menerima telpon dari ibunya.

“Kita harus ke Surabaya secepatnya, barusan ‘ammy kamu menelpon kalau Shakira kecelakaan, mobilnya slip dan terbalik!”.

“Kondisi Shakira bagaimana bunda?”.

“Kritis!!”

*********

Martapura, Minggu 29-07-2007, 2:37



Terilhami oleh :

Shahih Muslim, hadits nomer 5024
Sunan at-Tirmidzi, hadits nomer 2320, 2322 dan 2323.
Sunan Ibnu Majah, hadits nomer 4013, 4014 dan 4021.
Musnad Imam Ahmad, hadits nomer 1400, 1521, 6894, 7521 dan 9435.
Sunan ad-Darimi, hadits nomer 2664.

0 komentar:

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP