By Abu Zein. Powered by Blogger.

20111127

Wali Setan (Cerpen)

Wali Setan…. Awas Wali Setan..!! Tulisan yang ada di pamplet itu membuatku merinding. Bagaimana tidak, dalam pamplet tersebut dicantumkan photo berwarna seorang pemuda berwajah bersih dan bertampang innocent yang tersenyum manis. Mungkinkah ia seorang wali setan yang setiap mukmin diwajibkan memeranginya? Ah, bukankah penampilan bisa saja menipu, karena tidak sedikit orang yang berwajah senyum ternyata adalah koruptor ulung. But, tunggu sebentar, semestinya aku tidak langsung berburuk sangka kepadanya, karena prasangka yang buruk menunjukkan keadaan hati yang buruk, aku harus menjaga hatiku, Allah melarang hamba-Nya berburuk sangka, bisa-bisa aku yang terkena laknat Allah, Aúdzubillah. Entah kenapa hatiku merasa tidak enak, perasaan takut kepada Allah tiba-tiba merasuki relungnya.
Aku melirik arloji ber”tuah”ku, satu-satunya peninggalan Fadhli, sahabat kentalku semasa di Pesanten dahulu. Sudah hampir 30 menit lewat dari jam 07 pagi, itu artinya aku mesti bergegas sebelum dicap sebagai mahasiswa suúl adab karena keduluan dosen berada diruang kuliah, apalagi bila kuliah sudah separo jalan, bisa-bisa ilmunya tidak berkah, demikian adab menuntut ilmu yang dulu kukecap di Pesantren. Untungnya menunggu angkot tidak lama, hingga aku bisa sampai di kampus tepat waktu.

***

Matahari begitu menyengat, aku menyeka keringat di dahi dengan telapak tanganku, tak ada sapu tangan karena memang aku tak pernah memiliki benda itu. Kampus mulai sepi, mahasiswa lain sudah pada pulang, tinggal aku berdua Iqbal yang tadi kelamaan di Perpus. Memang hari Sabtu tidak banyak yang kuliah, hanya Jurusan Tafsir yang aktif, yang lainnya libur.
“Jib, ente sudah dengar nggak kalau saat ini masyarakat lagi heboh?” tanya Iqbal, sambil tersengal karena berusaha menggiringi langkahku, maklumlah orang gemuk kayak dia tentu beban sekali kalau jalan bareng aku yang seperti orang turun dari dataran tinggi.
“Soal apa Bal?” Aku balik bertanya.
“Heboh Wali Setan, yang katanya sesat menyesatkan” Iqbal berusaha menerangkan. Aku mengangkat bahu, mau menjawab tidak tahu berarti berbohong karena pamplet peringatan “Wali Setan” itu saat ini ada dikamar kostku, oleh-oleh kawan sebelah kamar yang dapat sewaktu belanja ke pasar.
“Katanya sang Wali tersebut mengajarkan kalau sudah berada dalam keadaan tertentu, seseorang sudah tidak terikat lagi dengan syariát” lanjut Iqbal.
“Memang begitu, Bal” Sahutku, “Seseorang yang kehilangan akalnya tidak mukallaf lagi, sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab fiqh”.
“Bukan begitu maksudku,Wali Setan itu mengajarkan kalau seseorang sudah makrifat dengan Allah, maka ia sudah mengenal hakikat dari semesta ini, dengan begitu jarak antara ia sebagai hamba dengan Allah sebagai Tuhannya tidak ada lagi, manunggaling kawulo gusti istilahnya, jadi ia tidak perlu melaksanakan segala macam bentuk peribadatan”.
“Ah yang benar, Bal, kamu tahu dari mana?”
“Rijal, teman sekostmu itu yang cerita padaku, katanya ia dari Syaikh Mukhlish, bahkan Syaikh Mukhlish menyuruh semua yang hadir di pengajiannya kalau ada menyimpan wirid atau amalan pemberian Wali Syaithon agar dibakar, karena bid'ah dan mengandung pengaruh setan katanya” Panjang lebar Iqbal menjelaskan. Aku hanya diam mendengar laporannya, soalnya reporter yang satu ini kalau sudah keasyikan akan terus nyerocos hingga jam siarnya dihentikan secara paksa oleh tim redaksi, eh maksudku time and taksi alias waktu jalan kaki sudah habis karena sudah sampai di tempat pemberhentian taksi kota.
“Ok, Bal, see you wal ‘afwu minkum..!! Salam terakhirku dengan kolaborasi bahasa English dan Arabic, sebelum akhirnya kami berpisah, aku naik taksi kota (tepatnya angkot) menuju tempat kostku, sementara Iqbal, tetap berjalan kaki karena rumah kostnya tidak jauh dari kampus.

***

“Wali Syaithon itu memang sesat, dia mengaku sebagai seorang waliyullah untuk menarik massa yang pada ujungnya minta penghormatan dan uang” Jelas Rijal dengan semangat empat lima. Aku semakin penasaran, seperti apa sih orangnya yang mengaku-aku sebagai wali tersebut. Apakah dia bisa terbang? Ataukah mampu berjalan diatas air? Ah, bukankah burung juga bisa terbang, namun makhluk itu tidak mengaku-aku sebagai waliyullah.
“Apa kamu sudah pernah ketemu orangnya Jal?” Tanyaku.
“Ketemu sih tidak pernah, namun Syaikh Mukhlish yang menceritakan dipengajiannya, mana mungkin orang alim seperti dia berbohong” Rijal bermain logika. “Mayoritas ustadz di kota ini adalah murid beliau, bukankah kredibilitasnya sudah meyakinkan? Tentunya beliau sudah menyelidiki sebelum menyampaikan di Pengajiannya” Lanjut Rijal yang merupakan salah seorang santri fanatik Syaikh Mukhlish.
Otakku membenarkan logika Rijal, meski hatiku masih belum berani berburuk sangka, mungkin saja ia salah dengar atau salah faham dengan apa yang dijelaskan oleh Kyai Mukhlish.
“By the way, gimana kalau diskusi kita Rabu nanti mengupas masalah wali? Nanti biar aku hubungi ustadz Zein” Usulku pada teman-teman se-kost. Memang biasanya Rabu sore sehabis sholat Ashar kami mengadakan diskusi, selain diskusi itu tidak rutin yang hadir juga tidak banyak cuma sebatas teman-teman sekost ditambah beberapa kawan-kawan se-angkatan, termasuk Iqbal yang tak pernah absen meski terkadang harus berjuang menantang teriknya matahari, pembicaranya pun tidak berganti-ganti, Ustadz. Muhammad Zein, seorang magister tafsir yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumah kost dimana kami tinggal.
“Ya kheir, usul kamu sangat bagus, aku setuju”, sahut Agil, kawan yang kamarnya bersebelahan dengan kamarku.
“Yang lainnya gimana?”, tanyaku sambil mengitari kawan-kawan dengan pandangan mata. Semuanya mengangguk tanda setuju.

***

Ustadz Zein, begitu biasa kami memanggil, memang orang yang luar biasa di mata kami, masih muda dan bujangan namun sudah meraih gelar master dari Al-Azhar University bidang tafsir, saat ini beliau mengikuti program doktoral di Harvard University. Ilmu dan wawasannya begitu luas, hingga setiap tema diskusi yang kami usulkan, beliau selalu bersedia memaparkan, bahkan setiap pertanyaan yang kami ajukan selalu beliau kasih jawaban yang jelas dan lugas berikut referensinya, meski terkadang beberapa pertanyaan tidak beliau jawab langsung, namun ditampung sementara karena beliau tidak mau memberi jawaban sembarangan tanpa ada dasar referensi ilmiahnya.
Rabu sore kami berkumpul di rumah Ustadz Zein, banyak yang ikut berhadir, sampai-sampai ruang tamu, tempat kami biasa berdiskusi, penuh sesak, rupanya promosi yang dilakukan Iqbal di kampus tidak sia-sia. Karena si gendut itu yang kemaren aku minta untuk memberitahukan kepada teman-teman mahasiswa yang tertarik untuk ikut berdiskusi tentang “Wali” agar ikut berhadir dirumah Ustadz Zein.
Awalnya Ustadz Zein menjelaskan tentang definisi Wali, kemudian beliau menerangkan tentang perbedaan Wali Allah dan Wali Setan sambil mengutip QS Yunus ayat 62 dan An-Nisa ayat 76.
“Ustadz!”, tanyaku memulai pertanyaan saat sesi bertanya mulai di buka. “Bagaimana caranya kita mengenali seorang waliyullah, apakah ia memiliki ciri-ciri khusus?”.
“Pertanyaan yang bagus”, sahut Ustadz Zein sambil tersenyum. “Ibnu Katsir dalam tafsir-nya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas Ra pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang siapa para wali tersebut, Nabi menjawab bahwa mereka adalah yang saat kalian memandangnya kalian langsung teringat Allah”. Deg, tiba-tiba jantungku berdetak keras, sejenak teringat keadaan hatiku sewaktu memandang photo Wali Syaithon di pamplet kemaren. Apa dia benar-benar seorang waliyullah?
“Ada pertanyaan lain?”.
“Apakah wali-wali tersebut saat ini masih ada?”, Iqbal yang duduk dipojok rupanya penasaran.
“Ya, orang yang menjadi waliyullah selalu ada di sepanjang zaman, setiap ada yang wafat akan ada yang menggantikan kedudukan mereka, sampai saat orang-orang beriman tidak ada lagi di muka bumi ini”.
“Maaf Ustadz, ada kepercayaan disebagian masyarakat kita bahwa wali-wali itu kalau kita sakiti bisa membuat kualat, apa benar begitu?”, Khairil, mahasiswa Syariah dikehadirannya yang perdana itu ikut bertanya.
Ustadz Zein kembali tersenyum. “Menurut kalian bagaimana?”, pancingnya sambil mengedarkan pandangan.
“Maaf Ustadz, mereka kan juga makhluk Allah, menurut saya yang namanya makhluk itu tidak memiliki daya dan upaya, istilahnya La haula wa la quwwata, jadi mereka sama saja dengan kita”. Khalish, yang dikampus terkenal dengan pemikiran rasional mengajukan pendapatnya. “Istilah kualat di perkenalkan nenek moyang kita hanya untuk menakut-nakuti kompeni waktu penjajahan dulu”, lanjutnya.
“Tapi mereka adalah kekasih Allah, bisa saja Allah marah sewaktu ada yang menyakiti mereka, hingga akhirnya menurunkan azabnya terhadap orang tersebut”, bantah Iqbal. “Bukan begitu Ustadz?”.
Ustadz Zein rupanya masih ingin mendengar pendapat dari audiens-nya. ”Kalau menurut kamu bagaimana, Najib?” sambil memandang kearahku.
“Maaf Ustadz, kalau boleh saya ingin menjawab pertayaan ini dengan sebuah Hadits Qudsy yang diriwayatkan Imam al-Bukhari. Allah SWT berfirman, ’Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka aku nyatakan perang terhadapnya’. Menurut saya firman Allah tersebut sudah cukup jelas untuk menjawabnya”.
“Tepat sekali jawaban kamu, Jib! Hadits semakna juga diriwayatkan Imam Ahmad dan Ibnu Majah. Saya ingin menambahkan, sebelum diskusi ini kita akhiri, bahwa memusuhi waliyullah sangat berat hukumannya. Tidak ada dosa yang langsung azab-nya di dunia ini, kata para ulama, selain memusuhi wali dan mengerjakan riba. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa memusuhi wali bisa berakibat kepada su’ul khatimah, mati tanpa membawa iman. Untuk lebih jelasnya kalian bisa membaca buku tulisan Alm. KH. M. Syarwani Abdan yang berjudul Dzakhiratuts Tsaminah.” Jelas Ustadz Zein yang rupanya sudah ingin mengakiri acara sore ini. Memang diskusi kami berjalan seadanya, kadang panjang kadang pendek, tergantung cuaca dan keadaan.
“Maaf Ustadz, saya minta waktu sedikit lagi. Bagaimana menurut Ustadz kalau ada seorang Kyai mengatakan bahwa si A atau si B itu sesat, sementara orang lain mengenalnya sebagai waliyullah? Apakah kata-kata Kyai tersebut bisa dijadikan pegangan atau bagaimana?” Nahwan, teman kost Iqbal itu rupanya masih belum puas dengan diskusi.
“Maaf sekali Nahwan, untuk menjawab pertanyaan kamu kayaknya kita tidak punya waktu lagi, banyak hal yang perlu dijelaskan, sementara malam ini saya ada undangan ceramah, jadi mesti bersiap-siap. Saya sarankan kamu untuk membaca al-Fawaid al-Madaniyah-nya Syeikh Sulaiman Al-Kurdi. Kamu boleh fotocopy punyaku, karena kitab ini termasuk langka, coba baca di awal pembahasan bagaimana beliau menjelaskan hal yang kamu pertanyakan”. Jawab Ustadz Zein sebelum akhirnya diskusi ditutup.

***

Malam yang kelam dan mencekam, begitu dingin dan terasa aneh. Andai aku berada sendirian di kamar kostku, tentu aku sudah lama memejamkan mata dan larut dalam mimpi. Tapi malam ini atas ajakan Rijal aku ikut ke rumah Syaikh Mukhlish yang lagi sakit keras.
Banyak orang bertamu dirumah beliau, maklum orang besar seperti beliau tentu selalu menjadi perhatian, apalagi disaat sakit seperti ini, semua santrinya bergantian membesuk dan membacakan Surah Yasin sebelum kemudian berdoa untuk kesembuhan Syaikh Mukhlish.
Entah apa yang diderita Syaikh yang sudah berumur tersebut, tidak ada yang tahu, bahkan dokter yang menganalisa penyakitnya bingung dibuatnya, hingga tidak bisa memberikan kepastian.
Bersama jamaah lainnya kami duduk bersimpuh dimuka kamar Syaikh Mukhlish, sebagian berdo’a sementara yang lainnya membaca Surah Yasin. Aku yang sudah selesai berdo’a duduk terpekur sambil menundukkan kepala. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam kamar, sepertinya Syaikh Mukhlish marah-marah. Aku yang duduk di barisan depan tepatnya di muka pintu jelas mendengar suara Syaikh Mukhlish.
“Nyai!” Suara Syaikh Mukhlish terdengar keras.
“Saya disini, Syaikh”, lirih suara Bu Nyai.
“Ngapain orang-orang diluar sana? Suruh mereka pulang! Uhuk, uhuk” Bentak Syaikh Mukhlish
“Mereka santri Syaikh yang datang membesuk. Mereka mendoakan Syaikh.”
“Ngapain berdo’a, aku sudah puluhan tahun berdo’a tapi tak pernah melihat hasilnya.”
“Apa dengan do’a mereka aku bisa tiba-tiba sembuh?! Apa dengan do’a mereka aku bisa merasa enak?! Mereka hanya bikin ribut! Apalagi ada yang membaca mantra, buat apa?”
“Maaf Syaikh, mereka membaca Surah Yasin untuk kesembuhan Syaikh”.
“Buat apa baca dongeng itu? Aku sudah jemu dengannya, sudah puluhan tahun aku membacanya namun tak ada hasilnya!”
Diam sejurus, tak kudengar sahutan Bu Nyai atau yang lainnya.
Tiba-tiba
“Nyai! Apa kau tuli? Kenapa belum kau suruh mereka bubar? Jangan baca dongeng itu dirumahku, uhuk.. uhuk.. aduuh aku tambah sakit.. haus Nyai, aku haus.. aduuuuh, aaaa…!!”.
“Syaikh.. Syaikh.. sadar Syaikh..!”
“Innalillah wa inna ilaihi raji’uun, beliau sudah pergi Bu”
Entah kenapa aku tiba-tiba merinding, kepalaku pusing, sayup telingaku menangkap jeritan Bu Nyai “Syaikh.. Syaikh…”.

Martapura, diheningnya malam Jum’at 1:42 27-07-2007.


Yang ikut terlibat dalam pembuatan cerpen :
Al-Qur’an al-Karim (An-Nisa:76 dan Yunus:62)
Tafsir Ibnu Katsir
Shahih Bukhari (Hadits no. 6021)
Sunan Ibnu Majah (Hadits no 3979)
Musnad Imam Ahmad (Hadits no 24997)
Al-Fawaid Al-Madaniyah.
Dzakhiratuts Tsaminah.

Pesan Penting ==>>
Cerita diatas adalah fiktif belaka.
But, berhati-hatilah terhadap kelompok yang gemar menuduh sesat dan mencap kafir umat muslim...!!

0 komentar:

About This Blog

  © Blogger templates The Professional Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP